I.
PERKEMBANGAN
PERBANKAN DI INDONESIA
A. Sejarah
Perkembangan Perbankan
a.
Zaman
Babilonia ( ± 2000 tahun sebelum masehi)
Pada zaman ini praktik perbankan
didominasi dengan transaksi peminjaman emas dan perak pada kalangan pedagang
yang membutuhkan dengan tingkat bunga 20% per bulan. Bank yang melakukan
praktik ini disebut Temples of Babylon.
b.
Zaman
Yunani ( ± 500 tahun sebelum masehi )
Pada zaman inipraktik perbankan
mulai berkembang yaitu menerima simpanan uang dari masyarakat dan
menyalurkannya pada kalangan bisnis. Pihak bank mendapatkan penghasilan dengan
menarik biaya dari jasa penyimpanan uang masyarakat. Pada zaman ini mulai
muncul bank-bank swasta.
c.
Zaman
Romawi
Pada Zaman
ini praktik perbankan mulai berkembang yaitu dengan ditandainya praktik tukar –
menukar uang, menerima deposito, member kredit, dan melakukan transfer dana.
d.
Era
perbankan modern pada abak ke-16 ( Inggris, Belanda, dan Belgia)
Pada era
itu para tukang emas bersedia menerima uang logam (emas dan perak) untuk
disimpan . Tanda bukti penyimpanan emas ini ditunjukkan dengan surat deposito
yang disebut goldsmith’s note. Dalam perkembangan goldsmith’s note ini
dikeluarkan oleh tukang emas sebagai alat pembayaran yang syah. Inilah cikal
bakal munculnya uang emas.
e.
Awal
era perbankan modern
Pada era
ini pengaturan kredit dibagi menjadi tiga yaitu : pinjaman penjualan, wesel,
dan pinjaman laut. Pinjaman penjualan dikhususkan untuk membantu pembelian
hasil-hasil panenan dan membantu para produsen. Wesel (bill of exchange)
digunakan untuk pengiriman uang ke luar negeri. Pinjaman laut ditujukan untuk
para pembuat kapal.
B. Bentuk
Lembaga Keuangan
Sesuai Surat Keputusan Mentri Keuangan Republik
Indonesia No. 792 tahun 1990 tentang “ Lembaga Keuangan”, lembaga keuangan
diberi batasan sebagai semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan,
melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama membiayai
perusahaan. Secara umum lembaga keuangan dapat dikelompokkan dalam dua bentuk,
yaitu bank dan bukan bank. Perbedaan antara bank dan bukan bank yaitu :
Kegiatan
|
Lembaga
Keuangan
|
|
Bank
|
Bukan
Bank
|
|
Penghimpunan
Dana
|
·
Secara
langsung berupa simpanan dana masyarakat ( tabungan, giro, deposito)
·
Secara
tidak langsung dari masyarakat (kertas berharga, penyertaan, pinjaman/kredit
dari lembaga lain)
|
·
Hanya
secara tidak langsung dari masyarakat (terutama melalui kertas berharga, dan
bisa juga dari penyertaan, peminjaman/kredit dari lembaga lain)
|
Penyaluran
Dana
|
·
Untuk
tujuan modal kerja, investasi, konsumsi
·
Kepada
badan usaha dan individu
·
Untuk
jangka pendek, menengah, dan panjang
|
·
Terutama
untuk tujuan investasi
·
Terutama
kepada badan usaha
·
Terutama
untuk jangka menengah dan panjang
|
Berdasarkan undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang
“ Perubahan atas undang-undang No. 7/1992 tentang perbankan”, lembaga keuangan
bank terdiri dari bank umum dan bank perkreditan rakyat. Bank umum dan bank
perkreditan rakyat dapat memilih untuk melaksanakan kegiatan usahanya atas
dasar prinsip bank konvesional atau bank berdasarkan prinsip syariah. Lembaga
keuangan bukan bank dapat berupa lembaga pembiayaan (perusahaan sewa guna
usaha, perusahaan kartu kredit,perusahaan modal ventura, perusahaan jasa anjak
piutang, perusahaan pembiayaan konsumen, perusahaan perdagangan surat berharga)
usaha perasuransian, dana pension, pegadaian, pasar modal, dan lain-lain.
C. Fungsi
Bank
Secara umum fungsi utama nbank adalah menghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk
berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary. Secara khusus fungsi bank
yaitu :
a.
Agent
of trust
Dasar
utama kegiatan bank atas dasar kepercayaan baik dalam hal penghimpunan dana
maupun penyaluran dana.
b.
Agent
of Development
Lembaga
yang memobilisasi dana untuk pembangunan ekonomi. Antara kegiatan sector riil
dengan sector moneter itu saling berkaitan.
c.
Agent
of Service
Jasa yang
ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat
secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan
barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan.
D. Lembaga
Keuangan Sebagai Lembaga Perantara
Lembaga keuangan pada dasarnya
mempunyai fungsi mentransfer dana (loanable funds) dari penabung atau unit
surplus (lenders) kepada peminjam (borrowers) atau unit defisit.
Gambar
: Proses Transaksi Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
E. Peran
Bank Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
Bank dan lembaga keunangan bukan
bank mempunyai peran yang penting dalam system keuangan, yaitu :
a.
Pengalihan
asset (asset transmutation)
Dalam hal ini bank dan lembaga
bukan bank berperan sebagai pengalihan dana/asset dari unit surplus ke unit
defisit. Dalam kasus lain, pengalihan asset dapat juga terjadi jika bank dan
lembaga bukan bank meneertibkan sekuritas sekunder (giro, deposito berjangka,
dana pension dan sebagainya) yang kemudian dibeli oleh unit surplus dan
selanjutnya ditukarkan dengan sekuritas primer (saham,
obligasi,promes,commercial paper dan sebagainya) yang diterbitkan oleh unit
deficit.
b.
Transaksi
(transaction)
Bank dan lembaga keuangan bukan
bank memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk melakukan
transakasi barang maupun jasa dimana dalam transaksi ini tidak terlepas dari
transaksi keuangan. Produk-produk yang dikeluarakan oleh bank dan lembaga bukan
bank (giro, tabungan, deposito, saham, dan sebagainya) merupakan pengganti uang
dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
c.
Likuiditas
(liquidity)
Pemberian alternatik pengelolaan
likuiditas dari produk-produk yang ditawarkan seperti giro, tabungan, deposito,
dan sebagainya dari unit surplus ke unit deficit.
d.
Efisisensi
(efficiency)
Bank dan lembaga keuangan bukan
bank dengan melakukan interaksi unit surplus dan unit deficit secara efisien.
Peranan bank dan lembaga keuangan bukan bank sebagai broker adalah menemukan
peminjaman dan penggunaan modal tanpa mengubah produknya.
II.
PERKEMBANGAN BANK DI INDONESIA
Dalam dunia Perbankan
di Indonesia dalam kurung waktu belakangan ini mengalami berbagai macam perubahan.
Dalam pembahasan ini terdapat 4 macam periode yang pernah terjadi di Indonesia
:
1. Dari tahun 1988-1996
2. Dari tahun 1997-1998
3. Dari tahun 1999-2002
4. sampai sekarang.
1. Periode 1988 – 1996
Dikeluarkannya paket deregulasi
27 Oktober 1988 (Pakto 88), antara lain berupa relaksasi ketentuan permodalan
untuk pendirian bank baru telah menyebabkan munculnya sejumlah bank umum
berskala kecil dan menengah. Pada akhirnya, jumlah bank umum di Indonesia
membengkak dari 111 bank pada Oktober 1988 menjadi 240 bank pada tahun 1994‐1995, sementara jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
meningkat drastis dari 8.041 pada tahun 1988 menjadi 9.310 BPR pada tahun 1996
2. Periode 1997 – 1998
Pertumbuhan pesat yang terjadi
pada periode 1988 – 1996 berbalik arah ketika memasuki periode 1997 – 1998
karena terbentur pada krisis keuangan dan perbankan. Bank Indonesia,
Pemerintah, dan juga lembaga‐lembaga internasional berupaya
keras menanggulangi krisis tersebut, antara lain dengan melaksanakan rekapitalisasi
perbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank dan
melakukan pengambilalihan kepemilikan terhadap 7 bank lainnya. Secara spesifik
langkah‐langkah yang dilakukan untuk
menanggulangi krisis keuangan dan perbankan tersebut adalah:
a) Penyediaan likuiditas kepada
perbankan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
b) mengidentifikasi dan
merekapitalisasi bank‐bank yang masih memiliki potensi
untuk melanjutkan kegiatan usahanya dan bank‐bank
yang memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakannya
c) Menutup bank‐bank yang bermasalah dan melakukan konsolidasi
perbankan dengan melakukan marger
d) Mendirikan lembaga khusus
untuk menangani masalah yang ada di industri perbankan seperti Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN)
e)
Memperkuat kewenangan Bank Indonesia dalam pengawasan perbankan melalui
penetapan Undang‐Undang No. 23/1999
tentang Bank Indonesia yang menjamin independensi Bank Indonesia dalam
penetapan kebijakan.
3.
Periode 1999 – 2002
Krisis perbankan yang demikian
parah pada kurun waktu 1997 – 1998memaksa pemerintah dan Bank Indonesia untuk
melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi
sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Langkah penting yang dilakukan
sehubungan dengan itu adalah:
a) Memperkuat kerangka pengaturan
dengan menyusun rencana implementasi yang jelas untuk memenuhi 25 Basel Core
Principles for Effective Banking Supervision yang menjadi standard
internasional bagi pengawasan bank
b) Meningkatkan infrastruktur
sistem pembayaran dengan mengembangkan Real Time Gross Settlements (RTGS)
c) Menerapkan bank guarantee
scheme untuk melindungi simpanan masyarakat di bank
d) Merekstrukturisasi kredit
macet, baik yang dilakukan oleh BPPN, Prakarsa Jakarta maupun Indonesian Debt
Restrukturing Agency (INDRA)
e) Melaksanakan program
privatisasi dan divestasi untuk bankbank BUMN dan bank‐bank yang direkap
f) Meningkatkan persyaratan modal
bagi pendirian bank baru.
4. Periode 2002 – Sekarang
Berbagai perkembangan positif
pada sektor perbankan sejak dilaksanakannya program stabilisasi antara lain
tampak pada pemberian kredit yang mulai meningkat pada inovasi produk yang
mulai berjalan, seperti pengembangan produk derivatif (antara laincredit linked
notes), serta kerjasama produk dengan lembaga lain (reksadana dan
bancassurance)
III.
ARSITEKTUR
PERBANKAN INDONESIA
1.
Basel
Core Principle
Pertumbuhan jumlah bank swasta yang sangat cepat mulai tahun
1980-an ternyata
membawa perekonomian Indonesia ke suatu tahapan baru dalam perkembangannya.
Peran sektor perbankan dalam memobilisasikan dana masyarakat untuk berbagai tujuan telah mengalami peningkatan yang sangat besar. Sektor perbankan, yang sebelumnya tidak lebih hanya sebagai fasilitator kegiatan pemerintah dan beberapa perusahaan besar, telah berubah menjadi sektor yang sangat berpengaruh bagi perekonomian.
membawa perekonomian Indonesia ke suatu tahapan baru dalam perkembangannya.
Peran sektor perbankan dalam memobilisasikan dana masyarakat untuk berbagai tujuan telah mengalami peningkatan yang sangat besar. Sektor perbankan, yang sebelumnya tidak lebih hanya sebagai fasilitator kegiatan pemerintah dan beberapa perusahaan besar, telah berubah menjadi sektor yang sangat berpengaruh bagi perekonomian.
Perkembangan yang pesat tersebut tampaknya tidak diikuti
perkembangan penerapan prinsip kehati-hatian yang seimbang, bahkan istilah
tersebut terdengar masih asing bagi sebagian para bankir apalagi masyarakat
awam pada waktu itu. Kenyataan tersebut menyebabkan pada akhir tahun 1990-an
terjadi masalah besar dalam dunia perbankan di Indonesia. Secara bersamaan,
sebagian besar bank-bank yang ada dalam kondisi bermasalah. Otoritas moneter
dengan sangat terpaksa harus melikuidasi banyak bank yang dipandang tidak dapat
diselamatkan lagi.
Bank for International Settlement (BIS) telah lama mencari
tahu praktik-praktik perbankan yang dianggap dapat menciptakan dunia perbankan
yang efisien dan efektif dalam perannya sebagai financial intermediary.
Menyadari adanya prinsip-prinsip yang telah dirumuskan dalam BIS dan perlunya
merancang ulang sektor perbankan di Indonesia dalam jangka panjang, otoritas
moneter berusaha untuk membuat Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Adanya
API, berarti Bank Indonesia secara bertahap berkeinginan untuk menerapkan
praktik-praktik terbaik internasional yang tercakup dalam 25 Prinsip Pokok
Basel untuk pengawasan perbankan yang efektif (Basel Core Principles for
Effective Banking Supervision), sehingga dalani jangka waktu lima tahun ke
depan diharapkan Indonesia telah sejajar dengan negara-negara lain yang telah lebih
dahulu menerapkan prinsip-prinsip tersebut.
The Basel Committee on Banking
Supervision adalah sebuah komite otoritas pengawas perbankan yang didirikan
oleh gubernur bank sentral dari negara-negara G-10 pada tahun 1975. Lembaga ini
terdiri dari wakil-wakil senior dari otoritas pengawas perbankan dan bank
sentral dari Belgia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Luksemburg,
Belanda, Swedia, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat. Lembaga ini biasanya
bertemu di the Bank for International Settlements di kota Basel-Swiss, yang
juga merupakan lokasi sekretariat tetapnya.
Komite ini telah menyusun dua jenis
dokumen, yaitu :
1.
Paket lengkap Core Principles for Effective Banking Supervision (The Basel Core Principles).
2.
Compendium (akan diperbarui
secara periodik) terhadap semua rekomendasi, pedoman, dan
standar yang telah dikeluarkan oleh Basel
Committee yang sebagian besar saling
berkaitan dengan core principles.
Kedua dokumen tersebut telah disetujui oleh gubernur bank
sentral negara-negara G- 10. Dokumen
tersebut telah diserahkan kepada menteri keuangan negara G-7 dan G- 10 sebelum Denver Summit pada Juni 1997 dengan harapan bahwa
mereka akan dapat mewujudkan mekanisme
bagi penguatan stabilitas keuangan di masing-masing negara.
Untuk
mengembangkan prinsip-prinsip tersebut, Basel Committee telah bekerja sama erat dengan otoritas pengawasan di luar
negara G- 10. Dokumen tersebut telah disusun dalam suatu grup yang terdiri dari
perwakilan Basel Committee dan juga dari negara Chili, Cina, Republik Czech, Hong Kong, Meksiko, Rusia, dan
Thailand. Sembilan negara yang lain (Argentina, Brazil, Hungaria, India,
Indonesia, Korea, Malaysia, Polandia, dan Singapura) juga terlibat dalam kegiatan ini. Draf atas dokumen tersebut juga
disusun berdasarkan hasil konsultasi dengan pengawas perbankan yang lebih
banyak lagi, baik secara langsung maupun
melalui grup pengawas perbankan regional.
The
Basel Core Principle terdiri dari dua puluh lima prinsip dasar yang perlu ada
bagi terwujudnya sistem pengawasan yang efektif. Prisip-prinsip tersebut
berkaitan dengan:
·
Persyaratan bagi
pengawasan perbankan yang efektif – prinsip ke-1
·
Perizinan dan Struktur
– prinsip ke-2 hingga ke-5
·
Peraturan Prinsip
kehati-hatian – prinsip ke-6 hingga ke-15
·
Metode Pengawasan
Perbankan Terus-menerus – prinsip ke-16 hingga ke-20
·
Informasi – prinsip
ke-21
·
Wewenang Formal
Pengawasan – prinsip ke-22
·
Perbankan Lintas Negara
– prinsip ke-23 hingga ke-25
The
basel core priniple dimaksudkan sebagai acuan dasar bagi pengawas dan otoritas
publik lain di semua negara secara internasional.
Keduapuluh
lima inti dalam pengawasan perbankan yang efektif, seperti yang telah
dirumuskan BIS, meliputi:
Persyaratan Pengawasan Perbankan
yang Efektif
- System
pengawasan perbankan yang efektif memiliki tanggung jawab dan tujuan yang
jelas pada setiap badan yang terlibat dalam pengawasan. Setiap badan harus
memiliki independensi dan sumber daya yang sesuai. Kerangka legal bagi
pengawasan perbangkan juga diperlukan, yang mencakup pemberian otorisasi
organisasi perbankan dan pengawasan yang terus menerus, wewenang
menentukankesesuaian dengan peraturan dan juga berkaitan dengan
kehati-hatian, serta perlindungan hokum bagi pengawas. Pengaturan
keterkaitan informasi bagi pengawas dan perlindungan kerahasiaan informasi
tersebut juga harus ada.
Perizinan dan Struktur
- Kegiatan
dari lembaga yang diberikan izin dan diawasi harus dirumuskan dengan
jelas, dan penggunaan nama “bank” harus dikendalikan sejauh mungkin.
- Lembaga
pemberi izin harus berwenang menentukan persyaratan dan juga menolak
pendirian yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Proses
perizinan paling tidak mencakup penelitian terhadap struktur kepemilikan
bank, direktur, dan manajemen senior; pengendalian internal; proyeksi
kondisi keuangan yang mencakup modal awal; dan bila pendirinya adalah bank
asing rekomendasi dari pengawas perbankan tempat asal bank tersebut juga
harus ada.
- Pengawas
perbankan harus memiliki wewenang untuk menilai dan menolak usulan
pemindahan kepemilikan atau pengendalian dalam jumlah besar ke pihak lain.
- Pengawas
harus memiliki wewenang untuk menentukan persyaratan penilaian akuisi atau
investasi besar oleh suatu bank dan juga memastikan bahwa tindakan
tersebut akan menyebabkan bank menanggung risiko yang berlebihan dan
menghalangi pengawasan yang efektif.
Peraturan dan Persyaratan
Kehati-hatian
6. Pengawas
perbankan harus menetapkan peraturan modal minimum yang tepat dan sesuai
prinsip kehati-hatian bagi semuabank. Persyaratan tersebut harus mencerminkan risiko yang
dihadapi bank dengan menetapkan komponen modal sehingga dapat mencerminkan
kemampuan bank menyerap kerugian. Setidaknya untuk bank yang aktif secara
internasional, peraturan ini harus tidak lebih rendah daripada yang telah ditetapkan
dalam Basel Capital Accord dan perubahannya.